Senin, 04 April 2011

Kultur Jaringan

Eksplan dalam Botol Kultur
 Teknik budidaya tumbuhan dengan metode konvensional baik secara generatif maupun vegetatif (menggunakan medium tanah atau pasir) sering dihadapkan kepada kendala teknis, baik dalam segi waktu maupun lingkungan. Misalnya perbanyakan dengan menggunakan biji, selain relatif lebih lama dalam segi waktu, tetapi juga hasilnya seringkali tidak seperti tanaman induknya. Kendala lainnya diakibatkan oleh faktor lingkungan misalnya adalah hama dan penyakit, serta bencana alam yang seringkali mengganggu perbanyakan tumbuhan di lapangan (Yuwono, 2008). 

Kultur in-vitro merupakan sebuah proses perbanyakan sel, jaringan, organ, atau protoplas dengan teknik steril (aseptik). Kegiatan ini mencakup semua teknik kultur sel dan jaringan yang meliputi perbanyakan, pengamatan, dan manipulasi genetik tumbuhan tanpa melibatkan siklus seksual.
 
Dewasa ini telah berkembang teknik budidaya/multiplikasi tanaman yang mulai banyak diaplikasikan di berbagai negara di dunia, yaitu teknik kultur in-vitro. Menurut Nasir (2002), kultur in-vitro merupakan sebuah proses perbanyakan sel, jaringan, organ, atau protoplas dengan teknik steril (aseptik). Kegiatan ini mencakup semua teknik kultur sel dan jaringan yang meliputi perbanyakan, pengamatan, dan manipulasi genetik tumbuhan tanpa melibatkan siklus seksual. Yuwono (2008) mengatakan, umumnya teknik kultur ini menggunakan bagian tumbuhan berupa jaringan sebagai bahan awal perbanyakan, sehingga teknik ini dikenal dengan kultur jaringan. 
Mariska dan Sukmadjaya (2003) menyebutkan, kelebihan teknik kultur jaringan ini dibandingkan dengan metode konvensional adalah, 1) faktor perbanyakan tinggi, 2) tidak tergantung musim, 3) bahan tanaman yang digunakan relatif sedikit sehingga tidak merusak tanaman induk, 4) tanaman yang dihasilkan bebas dari penyakit maupun dari tanaman induk yang mengandung pathogen internal, dan 5) tidak membutuhkan tempat yang luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak. 
Yuwono (2008) mengemukakan bahwa tiap sel memiliki kemampuan untuk berkembang biak menjadi satu jasad hidup yang lengkap melalui proses regenerasi, yang kemudian lebih dikenal dengan kemampuan totipotensi. Konsep kultur in-vitro mengacu pada kemampuan totipotensi tersebut, yaitu menumbuhkan jasad multiselular dalam medium padat maupun cair dengan menggunakan jaringan atau sel yang diambil dari bagian tubuh spesies tersebut. Teknik kultur in-vitro menggunakan media bukan tanah, melainkan media buatan di dalam tabung. Teknik in-vitro yang menggunakan bahan awal perbanyakan biasanya berupa jaringan tubuh tumbuhan yang kemudian disebut dengan kultur jaringan. 
Wetherell (1982) mengelompokkan langkah-langkah kultur in-vitro menjadi tiga tahap. Tahap I merupakan tahap persiapan eksplan. Eksplan disuci-hamakan dan dibebaskan dari mikroorganisme untuk selanjutnya dapat ditanam secara aseptik dalam media kultur. Tahap II adalah inisiasi, yaitu untuk melipatgandakan hasil pertumbuhan (propagul) dari tahap I dengan meningkatkan jumlah cabang asiler atau pembentukan tunas-tunas baru. Hasil pertumbuhan pada tahap II ditanam kembali, sehingga diperoleh jumlah propagul yang lebih besar. Tahap III merupakan tahap penyesuaian atau tahap pra-tanam, dengan merangsang pembentukan akar agar menjadi tanaman yang lebih kuat. 
Menurut Yuwono (2008), teknik in-vitro terdapat beberapa tahapan utama yang harus dilakukan untuk mengembangkan bahan awal tanaman sampai menjadi tanaman yang lengkap dan siap dipindah ke medium tanah, yaitu: (1) pemilihan sumber tanaman yang akan digunakan sebagai bahan awal, (2) penanaman pada medium yang sesuai sampai terjadi perbanyakan, (3) pembentukan tunas dan akar sampai berbentuk plantlet, (4) aklimatisasi atau proses adaptasi pada lingkungan di luar sistem in-vitro, dan (5) penanaman pada medium tanah.

Kelebihan teknik kultur jaringan ini dibandingkan dengan metode konvensional adalah, 1) faktor perbanyakan tinggi, 2) tidak tergantung musim, 3) bahan tanaman yang digunakan relatif sedikit sehingga tidak merusak tanaman induk, 4) tanaman yang dihasilkan bebas dari penyakit maupun dari tanaman induk yang mengandung pathogen internal, dan 5) tidak membutuhkan tempat yang luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak.


 Komponen utama yang dibutuhkan dalam kultur in-vitro tanaman, yaitu bahan awal (starting materials), medium yang sesuai, dan tempat kultivasi. Bahan awal yang dapat digunakan dalam kultur in-vitro ini bermacam-macam, antara lain: batang, daun, akar, tunas apikal dan axilari, anther, pollen, dan lain-lain. Bagian tumbuhan tersebut yang digunakan sebagai bahan awal perbanyakan kultur in-vitro disebut dengan eksplan (explants). Bahan yang digunakan sebagai eksplan sebaiknya berasal dari bagian tumbuhan yang masih muda dan sehat. 
Medium yang digunakan dalam teknik in-vitro dapat berupa medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus  yang kemudian diinduksi sehingga membentuk tumbuhan yang lengkap (plantlet), sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama, yaitu senyawa anorganik, sumber karbon (biasanya sukrosa), vitamin, zat pengatur tumbuh (auksin dan sitokinin), dan suplemen organik.
 Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman pada kultur in-vitro dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: 1) genotip dari sumber bahan tanaman yang digunakan; 2) media yang digunakan, mencakup komponen penyusun media dan penggunaan zat pengatur tumbuh; 3) lingkungan tumbuh, yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan; dan 4) fisiologi jaringan yang digunakan sebagai eksplan (Wattimena et al., 1992).

0 komentar:

Posting Komentar

 

About Me

Foto Saya
adrian red
Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Labels

Powered By Blogger